Konflik tenurial di kawasan hutan salah satu problem struktural tata kelola kehutanan yang mendapatkan perhatian Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Di dalam Program Politik Nawa Cita dengan tegas dinyatakan bahwa pemerintah akan menangani konflik tenurial tersebut sebagai wujud dari “Negara Hadir”. Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (Kemen LHK) sebagai lembaga yang bertanggung jawab serta mempunyai kewenangan untuk mengelola kawasan hutan menterjemahkannya dengan membentuk nomenklatur Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) serta melahirkan beberapa regulasi terkait hal tersebut.
Selain itu, Kemen LHK juga aktif mendidik sumber daya manusia yang bertugas sebagai assessor (penilai lapang konflik) dan mediator (fasilitator perundingan penyelesaian konflik) yang berasal dari berbagai kalangan, baik dari Aparatur Sipil Negara, Organisasi Non-Pemerintah dan Perusahaan. Para assessor dan mediator ini tersebar di beberapa Provinsi yang mempunyai konflik sumber daya alam.
Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi yang mempunyai kawasan hutan cukup luas, mencapai 49% dari total luas provinsi, dan tentunya juga mempunyai potensi konflik tenurial cukup tinggi. Berdasarkan pemaparan Direktur PKTHA Kemen LHK pada tanggal 15 Mei 2017 dalam acara Konsultasi Publik Nasional “Merajut Masa Depan Di Kawasan Hutan : Pembelajaran Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan Di Areal Konsesi Restorasi Ekosistem dan Hutan Tanaman”, Provinsi Jambi menempati posisi kedua, setelah Provinsi Riau, untuk jumlah pengaduan konflik tenurial dalam catatan Kemen LHK, yaitu sebanyak 15 kasus. Sementara menurut dokumentasi data Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, dari tahun 2010 – 2016 jumlah konflik lahan kehutanan selalu menempati urutan pertama untuk konflik sumber daya alam di Provinsi Jambi, yaitu sebanyak 34 kasus per tahun 2016.
Gambaran faktual ini tentu saja membutuhkan penanganan yang baik dengan melibatkan peran banyak pihak, terutama dengan melibatkan sumber daya assessor-mediator di tingkat tapak. Assessor-mediator yang telah mendapatkan sertifikasi dari Kemen LHK ini akan dapat bekerja sesuai dengan standar dan “aturan main” yang ditetapkan dalam regulasi.
Dalam acara ini dihadiri oleh Direktur Penyelesaian Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bapak Eka Widodo Soegiri sebagai Nara Sumber utama didampingi oleh Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Bapak Agus Sriyanta sebagai nara sumber pendamping.
Dalam paparannya kedua nara sumber, menyatakan bahwa penanganan konflik menjadi salah satu isu utama yang akan menjadi fokus Kementrian LHK. Sehingga konsolidasi berbagai kekuatan ditingkat tapak termasuk konsolidasi assessor dan mediator menjadi langkah penting yang harus dilakukan. Selain itu, proses pendokumentasian konflik dan tahapan penyelesaian yang sesuai situasi dan kebutuhan serta situasi lapangan menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses penyelesaian konflik.
Dalam sisi regulasi, saat ini kementrian LHK sedang melakukan proses revisi Permen LHK No.84 tahun 2015 tentang Penyelesaian Konflik guna mengakomodir isu daerah dan memberikan kewenangan kepada daerah sesuai tupoksinya dalam kerja penanganan konflik secara komperhensif.
Acara yang berlangsung selama 2 hari yaitu tanggal 28 dan 29 Agustus 2017 di Hotel Luminor Kota Jambi ini dihadiri oleh 8 orang Mediator, 2 orang Asesor, 5 orang perwakilan masyarakat dan utusan dari forus multipihak yang ada di lingkungan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi yaitu Sekber PSDH dan Pokja PPS.
Discussion about this post