Di tengah keindahan alam Kabupaten Bungo, terdapat sebuah tradisi kuliner yang menandai momen-momen penting dalam kehidupan masyarakat Hukum Adat Rimbo Bulim—”Nasi Manih”. Hidangan istimewa ini menjadi simbol dari berbagai acara besar seperti pernikahan dan Sunat Rasul.
Nasi Manih terbuat dari beras pulut atau ketan yang dikukus dengan seksama. Setelah matang, beras ini diaduk dengan gula merah dan santan kelapa yang telah dimasak hingga kental. Di daerah ini, campuran tersebut dikenal dengan sebutan “tai minyak kelapa”. Proses aduk-mengaduk dilakukan oleh ibu-ibu secara bergantian, sebuah ritual yang bukan hanya tentang memasak, tetapi juga tentang kebersamaan dan komunitas.
Ada kepercayaan menarik terkait proses ini—konon jika anak-anak gadis yang mengaduk Nasi Manih, rasanya akan menjadi masam. Apakah ini mitos atau fakta? Hal ini sering menjadi bahan perbincangan di kalangan warga desa, menambah keunikan dari tradisi ini.
Setelah melalui proses pengadukan, Nasi Manih dibiarkan mengeras sejenak sebelum disajikan. Hidangan ini kemudian dibagikan kepada warga desa yang hadir dalam acara tersebut. Mereka biasanya akan membawanya pulang dalam periuk masing-masing sebagai simbol penghargaan dan pengganti “maleh hari” atau pemberian untuk melengkapi hari-hari mereka.
Nasi Manih bukan hanya sekadar makanan, tetapi merupakan bagian penting dari identitas dan kekayaan budaya masyarakat Hukum Adat Rimbo Bulim. Melalui hidangan ini, mereka merayakan momen-momen istimewa sekaligus memperkuat ikatan sosial dalam komunitas mereka.
Discussion about this post