(Ditulis berdasarkan wawancara dengan Ibu Mevi tanggal 1 Desember 2023)
Deretan bibit kemiri dan kopi yang ditanam dalam polybag berjejer rapi didalam kotak-kotak kayu. Warna daun hijau segar, rata-rata tingginya sejajar, tanah lembap sehabis hujan gerimis menyebarkan bau khas, apalagi tanah bibit tanaman dicampur dengan pupuk organik, semakin memperkuat bau tanah yang subur. Disamping deretan bibit kopi dan kemiri juga berjajar rapi tanaman kangkung, terlihat menyegarkan mata.
Bibit dan tanaman sayur ini berada di lokasi pembibitan yang dikelola oleh Kelompok Perempuan Pengelola Pembibitan (KP3) Nurul Huda Lestari di Desa Sungai Penoban, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Sebuah desa yang berbatasan dengan Provinsi Riau, dan bersebelahan dengan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Bersama dengan Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi dan Fortasbi, kelompok perempuan ini mengembangkan inisiatif pembibitan yang akan ditanam di kawasan Perhutanan Sosial, selain itu menjadi model ekonomi hijau dengan menjual bibit-bibit tanaman tersebut untuk kebutuhan penghijauan lahan dan pengayaan tanaman.
Ibu Mevi seorang petani perempuan pengelola pembibitan, dia Ketua KP3 Nurul Huda Lestari. Dengan menaiki sepeda motor dari rumahnya yang sejauh sekitar 1 kilometer, setiap 3 hari dalam seminggu dia datang ke lokasi pembibitan bersama dengan beberapa anggota KP3 lainnya. Mereka membersihkan rumput, membuang hama seperti keong, menyirami bibit dengan air, dan saling menjalin komunikasi. “Awalnya, saya bingung dan ragu dengan rencana pembibitan, apalagi harus dilakukan berkelompok, membentuk organisasi. Apa manfaatnya?, apakah akan mengganggu pekerjaan saya di rumah?. Tetapi rasa penasaran mendorong saya untuk ikut serta dalam diskusi yang difasilitasi oleh CAPPA dan Kelompok Tani Hutan (KTH) Penoban Lestari”, kata Ibu Mevi.
Ibu Mevi dan Bibit Kemiri yang ditanam oleh KP3
Setelah mengikuti beberapa kali diskusi tentang kelembagaan perempuan dan pengelolaan pembibitan, Ibu Mevi bersedia menjadi anggota, dan terpilih sebagai Ketua. “Sungguh tak pernah saya bayangkan menjadi ketua lembaga ini, karena sebelumnya saya hanya mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di desa, seperti pengajian dan arisan. Ini pengalaman baru bagi saya”. Hal yang pertama Ibu Mevi lakukan setelah diberikan mandat sebagai ketua adalah berdiskusi dengan suaminya. Dalam tradisi masyarakat Indonesia, khususnya di Melayu, mendapatkan izin dari suami diperlukan ketika seorang istri melakukan kegiatan di luar rumah.
Ibu Mevi menjelaskan kepada suaminya tentang rencana kegiatan pembibitan, serta tanggung jawab dia sebagai Ketua kelompok perempuan, “Suami saya menerima penjelasan dia, syukurlah dia mendukung dan memberikan izin. Dan sampai sekarang saya mampu membagi waktu antara kegiatan mengurus rumah, bekerja untuk brondol sawit, dan mengelola pembibitan”. Apa yang dilakukan oleh Ibu Mevi tidak mudah, karena hal ini merombak tradisi lokal, apalagi seorang perempuan menjadi pimpinan organisasi, “Saya memahami beberapa anggota kami masih mengalami kesulitan dalam menjelaskan kegiatan pembibitan dan kelembagaan perempuan kepada suaminya. Saya akan membantu mereka, saya akan mengelola KP3 sebaik-baiknya, agar dapat dilihat masyarakat desa bahwa kegiatan ini mempunyai manfaat”.
Bagi Ibu Mevi, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan tentang pembibitan, diskusi tentang kelembagaan perempuan, dan mengelola pembibitan memberikan pengetahuan berharga buat dia, dan saat sekarang menumbuhkan keberanian dia untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Sebelumnya dia tidak tahu bagaimana menanam biji kemiri atau menanam bibit kopi, saat sekarang dia tahu tahap-per-tahap bagaimana memecahkan biji kemiri, menanamnya, kemudian memindahkan ke polybag, serta memberikan pupuk organik untuk tanaman ini. Jika dahulu dia tidak berani bicara, takut salah, saat sekarang Ibu Mevi tidak ragu berkomunikasi dengan banyak orang, berani menyampaikan pendapat, bahkan memimpin rapat organisasi, “Salah satu yang memberikan motivasi dan semangat bagi saya adalah ketika teman-teman Fonap dari Jerman berkunjung ke desa kami. Ternyata banyak orang mendukung kami, ternyata orang dari luar negeri memperhatikan kami. Kami banyak punya teman yang punyai semangat yang sama untuk memerdayakan perempuan desa dan melestarikan alam”, kata Ibu Mevi.
Merawat tanaman di lokasi pembibitan
Ibu Mevi adalah sosok perempuan petani kecil sederhana dengan ide dan semangat besar untuk berjuang memperkuat pengetahuan kaum perempuan desa. Dia dengan bijak memecah tradisi yang membatasi perempuan desa berkembang untuk meningkatkan kesejahteraan dan melestarikan lingkungan.
Discussion about this post