Tanggal 26 November 2018, bertempat di Hotel Aston Jambi, dilaksanakan Seminar Nasional berjudul “Pembelajaran Dari Tapak untuk Penyelesaian Konflik Tenurial, Melestarikan Hutan dan Merawat Kehidupan”. Seminar Nasional ini dihadiri 65 peserta dari unsur Pemerintah Pusat dan Daerah, Perusahaan pemegang konsesi kehutanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Masyarakat dan Media cetak-elektronik. Seminar Nasional ini dilaksanakan oleh Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi didukung oleh Kementerian Dalam Negeri
Seminar Nasional ini bertujuan untuk berbagi pengetahuan tentang penanganan konflik tenurial kehutanan di Provinsi Jambi. Seperti diketahui konflik tenurial merupakan bagian tidak terpisahkan dari tata kelola kehutanan, membangun upaya-upaya penanganan konflik tenurial merupakan rantai tak terputus dalam perbaikan kepengurusan hutan. Penanganan konflik tenurial yang konstruktif akan berujung pada kesejahteraan sosial bagi masyarakat desa dan dipinggiran hutan.
Menurut catatan Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, konflik tenurial di kawasan hutan terus menunjukkan trend menaik secara kuantitas. Dari dokumentasi yang dilakukan Yayasan CAPPA Keadilan di tahun 2017 terjadi 135 konflik di kawasan hutan
Dalam kata sambutannya, Ketua Badan Pengurus Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi, Rivani Noor Machdjoeri mengatakan konflik tenurial bukan sesuatu yang harus dijauhi, “Konflik tenurial harus ditangani, diurai, diselesaikan. Bukan dijauhi, karena semakin dijauhi akan menambah kompleks persoalan”. Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi sendiri telah mendampingi penyeleaian konflik tenurial antara masyarakat dengan pemegang konsesi, juga memfasilitasi akses masyarakat atas kawasan hutan melalui skema Perhutanan Sosial dengan luasan 18,711 hektar di Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Batanghari.
Menurut Pak Agus Sriyanta, dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, yang memberikan sambutan sekaligus membuka acara, penyelesaian konflik tenurial itu penting dengan memfasilitasi para pihak membangun kesepakatan, “Tetapi juga penting adalah mendampingi dan mengawal paska kesepakatan terjadi, agar obyek lahan kehutanan yang menjadi kesepakatan bisa dikelola dengan baik, bukan malah menjadi sumber masalah baru”.
Seminar Nasional ini menghadirkan 4 nara sumber, pertama Bapak Iwan Nurdin (Tim Percepatan Penanganan Konflik Kantor Staf Presiden/KSP), Bapak Sigit Eko Yuwono (Kabid Penanganan Konflik Badan Kesbangpol Provinsi Jambi), Bapak Arifadi Budiardjo (PT Royal Lestari Utama, Barito Pacific) dan Bapak Muhammad Zuhdi (Direktur Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi).
Tim Percepatan Penanganan Konflik Kantor Staf Presiden dibentuk untuk sinergisitas penyelesaian konflik agraria antara Kementerian dan Lembaga, juga agar penyelesaian konflik agraria selaras dengan agenda-agenda Reforma Agraria, “Prinsip penyelesaian konflik agraria adalah untuk pemulihan hak korban, perlindungan warga negara, ralat atau koreksi atas kebijakan publik, serta pencegahan konflik dimasa datang. Penyelesaian konflik agraria harus memperhatikan visi penyelesaian tersebut”, papar Bapak Iwan Nurdin. Reforma Agraria juga akan melayani orang tidak bertanah serta orang yang bertanah sedikit, “Karena kalau Reforma Agraria hanya memberikan sertifikat bagi masyarakat yang mempunyai tanah atau mempunyai tanah luas, maka Reforma Agraria justru akan mendorong ketidak-adilan agraria.”
Bapak Sigit Eko Yuwono, menjelaskan sumber-sumber konflik di Provinsi Jambi, pertama adalah konflik sumber daya alam, konflik ekonomi, konflik politik, konflik tapal batas wilayah administrasi dan konflik SARA (Suku Agama Ras Antar Golongan), “Badan Kesbangpol Bidang Penanganan Konflik bertugas untuk Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik dan Pemulihan Konflik. Ada beberapa kasus SDA yang sedang kami tangani, seperti konflik masyarakat dengan salah satu konsesi Hutan Tanaman Industri di Provinsi Jambi”. Yang penting adalah, penyelesaian konflik tenurial tidak bisa ditangani oleh Pemerintah saja, tetapi harus didukung semua pihak, “Tanpa kerjasama semua pihak, penyelesaian konflik bisa menjadi impian saja.”
Presentasi dari pemegang konsesi PT RLU memaparkan pengalaman bagaimana menangani konflik tenurial secara partisipatif melibatkan para pihak. Jenis konflik di konsesi PT RLU yaitu, perambahan perladangan, perambahan perkebunan karet, perambahan perkebunan sawit, pemukiman dan fasilitas umum, jual beli lahan, illegal logging, konflik satwa, situs budaya dan reclaiming. “Tipologi aktor penguasaan lahan terbagi 3, yaitu petani kecil (kurang dari 10 hektar), spekulan (10 – 20 hektar, dan bisnis gelap (lebih dari 20 hektar)”, kata Bapak Arifadi, “Berdasarkan tipologi ini kami membangun opsi-opsi penyelesaian konflik tenurial. Tetapi dari semua opsi, musyawarah merupakan hal yang utama untuk dilakukan.” Saat sekarang sudah terbentuk Tim Resolusi Konflik yang anggotanya terdiri dari berbagai pihak (multi pihak), sehingga diharapkan menjadi tim independen dan keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama para pihak. Didalam Tim ini juga terdapat 3 Pokja, yaitu Pokja Sosialisasi dan Inventarisasi, Pokja Mediasi dan Pokja Orang Rimba.
Penyelesaian konflik tenurial tidak hanya memberikan kepastian akses masyarakat atas lahan kehutanan, tetapi juga berdampak pada peningkatan pendapatan komunitas, “Dari studi yang kami lakukan di 2 lokasi, yaitu Dusun Simpang Macam Luar dan Dusun Kunangan Jaya1, Kabupaten Batanghari, kedua lokasi ini telah membangun kesepakatan kemitraan kehutanan dengan PT REKI, rata-rata pendapatan komunitas meningkat”, papar Bapak Muhammad Zuhdi dari Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi. Sebagai contoh, masyarakat yang dulu berpenghasilan Rp 230,000 per bulan, ketika terjadi konflik, setelah melakukan kesepakatan pendapatannya meningkat menjadi Rp 400,000,-. Studi ini membagi komunitas dalam 4 kategori strategi ekonomi berbasiskan pendapatannya.
Benang merah dalam Seminar Nasional semua nara sumber dan peserta sepakat bahwa konflik tenurial harus diselesaikan dengan partisipatif aktif para pihak. Dukungan regulasi serta nomenklatur pemerintah harus didukung oleh sumber daya yang cukup. Selain itu, penyelesaian konflik tenurial akan mendukung terciptanya kesejahteraan sosial masyarakat desa.
Discussion about this post