Luas hutan Indonesia tidak berbanding lurus dengan tata kelola hutan. Problem terus terjadi, salah satu wujudnya adalah konflik lahan kehutanan dan rendahnya akses masyarakat sekitar hutan terhadap sumber daya hutan. Penyelesaian konflik lahan kehutanan membutuhkan waktu yang relatif lama akibat tidak ada kesepakatan tata kelola hutan yang dibangun partisipatif, lemahnya perspektif penyelesaian konflik serta belum efektifnya kelembagaan penyelesaian konflik serta tumpang tindihnya produksi kehutanan dengan sektor lainnya. Situasi ini membuat akses masyarakat terhadap sumber daya hutan menjadi rendah, bahkan cenderung tertutup. Konflik yang dibiarkan berkembang akan menciptakan masalah yang berujung pada pertentangan yang mengancam. Situasi itu akan semakin merepotkan apabila semua konflik, sengketa diproses secara hukum oleh peradilan. Diperlukan mekanisme penyelesaian konflik yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah seperti dengan cara negoisasi dan mediasi dengan pihak yang berkonflik atau menggunakan skema yang sudah disiapkan oleh pemerintah. Berdasarkan strategi dan perencanaan yang harus dilakukan dalam peningkatan proses penyelesaian konflik kehutanan antara masyarakat dan perusahaan hutan, maka peningkatan kapasitas masyarakat komunitas akar rumput harus dan wajib kita tingkatkan sesuai mekanisme dan prinsip prinsip yang berlaku. Mekanisme yang sudah ada disiapkan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu skema Perhutanan Sosial. Pendekatan dengan skema tersebut telah membuat perubahan dan berjalannya resolusi konflik yang terjadi selama ini. Ada 2 wilayah dampingan Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi yang sudah menjalankan penyelesaian konflik dengan Skema Perhutanan Sosial. Dusun III Trans SAD Sepintun Kabupaten Sarolangun untuk Kemitraan Kehutanan Hasil Hutan Bukan Kayu dengan PT. REKI (Hutan Harapan) dan Desa Lubuk Bernai Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan PT. Rimba Hutani Mas (Sinar Mas Grup) juga dilakukan pendekatan yang sama walaupun dengan alas dasar objek yang berbeda. Di dua wilayah ini membutuhkan waktu yang sangat panjang hingga bersepakat bersama untuk menghentikan konflik yang terjadi. Dari pengalaman Yayasan CAPPA melakukan penanganan dan penyelesaian konflik dengan menggunakan pendekatan kebijakan Perhutanan Sosial melalui Skema Kemitraan, kami melihat ada beberapa catatan yang masih perlu di diskusikan secara bersama agar pilihanan penyelesaian konflik melalui Perhutanan Sosial ini bisa menjadi alternatif yang tepat dan bisa diterima oleh para pihak yang berkonflik, atas dasar itu kami melaksanakan diskusi virtual terkait “ Perhutanan Sosial Sebagai Pola Penanganan Konflik Belajar Dari Jambi”. Melibatkan narasumber berpengalaman dalam melakukan penanganan konflik melalui Perhutanan Sosial, yaitu : Bapak Akhmad Bestari, SH.MH (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi), Bapak Mangara Silalahi (Presiden Direktur PT.REKI) dan Bapak Muhammad Zuhdi (Direktur Yayasan CAPPA) . Diskusi akan dipandu oleh Bapak Rivani Noor (Tenaga Ahli Menteri Bidang Konflik Agraria dan Mediasi) yang akan membantu jalannya alur diskusi. Diskusi bertujuan untuk berbagi pengalaman, saling bertukar pengetahuan dalam penanganan konflik melalui perhutanan sosial dan mendapatkan masukan dari publik, yang diharapkan menjadi pembelajaran bernilai, bagaimana Hutan Sosial bisa menjadi pilihan pola penanganan konflik tenurial dimasa depan.
Discussion about this post