Sungai Penoban desa yang terletak persis di perbatasan Provinsi Jambi dan Riau, desa “perbatasan” begitu masyarakat menyebutnya, sebagai pintu masuk dari provinsi tetangga yang membuat masyarakat asli desa bisa lebih terbuka menerima masyarakat luar yang kemudian tinggal dan menjadi penduduk desa, dengan keberadaan penduduk yang heterogen ternyata mampu menyatukan masyarakat dalam ragam suku dan agama dan bisa beradaptasi dan berbaur dengan segala perbedaan yang ada.
Desa yang berbatasan dengan kawasan hutan yang sekaligus menjadi penyangga dari Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) justru menjadi harapan besar bagi masyarakat untuk juga mampu menjadi penyangga keberlangsungan penghidupan turun temurun garis keturunan mereka di masa datang, Asa itu muncul ketika pemerintah menggelontorkan kebijakan pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan. Harapan itu semakin tampak nyata dimana pemerintah memberi ruang masyarakat untuk akses atas lahan. Akses atas lahan itu dibuka dan ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Reforma Agraria sebagai program prioritas dengan dua skema besar yaitu: Tanah Objek Reforma Agraria (TORA): Legalisasi dan redistribusi tanah (Soil) seluas 9,1 juta hektar dan Perhutanan Sosial : Akses legal masyarakat terhadap lahan (kawasan hutan Negara) seluas 12,7 juta hektar.
Kabar ini sampai juga ketelinga masyarakat didesa Sungai Penoban, Tepatnya tahun 2017 masyarakat desa yang hidup bergantung terhadap kawasan hutan melakukan diskusi dan menyambut peluang ini, berdasarkan informasi seadanya masyarakat kemudian mencari pihak yang bisa membantu sampai akhirnya bertemu dengan Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi dan menyampaikan kondisi masyarakat yang sebagian sudah terlanjur menggarap kawasan hutan tanpa mereka tahu sebelumnya, keinginan untuk melegalkan garapan bahkan pemukiman berada dalam kawasan ini lah yang mendorong mereka untuk bermohon kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar bisa mendapatkan kepastian hukum, dan tidak dianggap perambah dan pendatang illegal.
Pak Samsul salah satu masyarakat lokal yang kebunnya berada dalam kawasan hutan sangat berharap sekali program pemerintah ini bisa menyelamatkan sumber mata pencaharian masyarakat apalagi masyarakat yang penghasilan bergantung dari sektor pertanian dan kebun-kebun yang berada dalam kawasan hutan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh pak Maralohot Lubis dan bang Eka Karmadi yang juga memiliki lahan garapan didalam kawasan hutan tersebut, Melalui dorongan tiga orang ini masyarakat bersepakat untuk mengusulkan Perhutanan Sosial melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), berdasarkan rembuk di masyarakat disepakati ada tiga kelompok yang akan mengusulkan yaitu KTH Mahau Lestari, KTH Penoban Lestari dan KTH Hulu Lumahan Lestari.
Dibantu oleh Yayasan CAPPA Keadialan Ekologi pada bulan Juli tahun 2018 masyarakat menyampaikan usulan Perhutanan Sosial kepada KLHK, tujuannya bagaimana masyarakat bisa mendapatkan izin legal mengelola dan tentu saja melestarikan kawasan tersebut, apalagi sebagian kawasan hutan merupakan bekas kebakaran pada tahun 2015 lalu, harapan besar masyarakat adalah dengan mendapatkan izin pengelola dikawasan hutan masyarakat bisa mendapatkan nilai lebih dalam mendongkrak pendapatan ekonomi masyarakat.
Alhamdulillah harapan masyarakat ini tidak butuh waktu lama, berselang 6 bulan kemudian keinginan untuk mendapatkan kepastian hukum mengelola menjadi nyata, yang lebih menggembirakan lagi bagi masyarakat Desa Sungai Penoban adalah bisa menerima SK IUPHKm yang langsung diserahkan oleh Bapak Joko Widodo Presiden Repebulik Indonesia pada 16 Desember 2018 di Hutan Pinus Kota Jambi, Terlebih bagi Pak Samsul yang terpilih menjadi salah satu penerima SK secara simbolis dari Presiden RI. Begitu juga dengan masyarakat Sungai Penoban lainnya yang ikut hadir dalam penyerahan SK tersebut
Komitmen untuk mewujudkan harapan ini ditunjukan oleh masyarakat dengan melakukan berbagai kegiatan sebagai kewajiban pemegang izin diantaranya adalah melakukan penandaan tapal batas, pemasangan patok, penyusunan RKU/RKT, hingga pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
Masyarakat juga memanfaatkan areal izin dengan melakukan penanaman jangka pendek seperti padi, cabai merah, cabai rawit, jeruk, dan pisang yang sudah mereka rasakan hasilnya. Selain itu masyarakat juga mengajukan dukungan ke berbagai pihak dan usaha ini mendapat respon baik dari pemerintah, dimana masyarakat mendapat bantuan Bang Pesona- Direktorat BUPSHA dan bantuan PBPS-BPDAS-HL serta dari BPSKL-Wilayah Sumatera, bantuan para pihak ini digunakan untuk pengadaan bibit Mahoni, Kopi, Kemiri, Petai, Aren, Jernang, Durian dan Karet. Semoga saja bibit yang ditanam oleh masyarakat ini bisa tumbuh subur dan kelak bisa membantu meningkatkan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat kedepan.
Perhutanan Sosial menumbuhkan semangat gotong royong dan hutan menjadi harapan baru bagi keberlanjutan penghidupan masyarakat Desa Sungai Penoban kedepannya.
Discussion about this post